Sirah Darah di Wajah Sejarah


Kumcer karya Kayla Untara. Foto Facebook


Bingung mau mulai dari mana mengulas buku ini. secara umum buku ini adalah catatan orang kalah penuh amarah. Judul "Sirah darah di wajah sejarah" memang mewakili keseluruhan cerita.

Untungnya, tidak semua cerpen berisi pengkhianatan Republik terhadap pejuang pejuang Al Banjari, bagian terkait sangat boleh dipadankan dengan kumcer Pramoedya Ananta Toer bertajuk Cerita dari Jakarta kecuali gaya bertutur penulis tidak istiqomah seperti Pram yang penuh  gugatan.

Jelang Pertempuran Madang terkesan lebih mendayu tapi penuh semangat tidak seperti judul judul lain yang penuh dendam.

Karena genrenya Kumcer, membaca buku ini macam kenalan dengan seorang gadis teramat cantik yang tersenyum padamu saat mengantri tiket bioskop. Kemudian kau dan dia masuk studio terpisah tanpa sempat bertukar nomer kontak. Kau ingin lebih. Kau sangat ingin keluar ruangan untuk mencarinya di studio sebelah tapi istrimu mencengkram tanganmu demi melihat adegan mencekam di layar bioskop.

Kau sangat ingin cerita Mirna ditulis seutuh cerita Larasatinya Pram.

Kau sangat ingin The Journal ditulis lengkap macam "Perawan Remaja dalam Cengkraman militer".

Kau sangat ingin tempat pelarian Tuan Ibnu Hajar diceritakan seperti Cecilia Samartin menceritakan Havana dalam Broken Paradise.

Meski ditulis orang Kandangan, ruh keberanian orang Kandangan tidak terasa di kumcer ini. Lebih terasa ruh penuh dendam orang Rantau dan ruh penuh muslihat urang Barabai.

Akhir kata, kumcer ini adalah buku  yang wajib dimiliki semua orang Banjar di manapun mereka berada. Buku ini mencatat DNA sejati kita. Kita adalah bangsa merdeka. Al Banjari adalah warrior. Ilmu dan darah pejuang mengalir dalam darah kita. MERDEKA!!!!!

Jadi amang Fuad Untara ai, sebelum buku Panglima Batur dan Lembu Amangkura dirilis oleh Randu, maka buku ini adalah yang terbaik yang pernah rilis di bumi Banjar.


(Ewin Adhia, tinggal di Banjarbaru)

Komentar